Penari

Prima berhenti meliukkan tubuhnya. Dentuman musik belum lagi usai. Pandangan matanya heran menyapu tiap sudut. Beberapa kepala terlihat mengisi satu dua meja. Mereka sibuk dengan gelas masing-masing.

“Hey! Kenapa berhenti menari?!” seru seorang lelaki.

“Ayo menari lagi! Musik belum usai!” Teriaknya lagi.

Prima mencari sumber suara itu, tapi sia-sia. Asap tebal menghalangi pandangannya. Ia menghalau asap dengan kibasan tangannya. Berharap bisa menatap muka lelaki yang masih menginginkan ia menari.

“Aku senang melihat tarianmu!” Suara teriakan itu menggema disela-sela dentuman musik. Prima merasa hangat merayapi tiap pori-pori. Sulit baginya untuk menahan senyum, air matanya perlahan tumpah.

“Masih ada orang yang mau melihat aku menari?” Prima bertanya dalam hati. Ia beringsut turun dari panggung. Mendatangi meja demi meja. Menemukan seorang lelaki berwajah cerah duduk sendirian, menatap lurus-lurus padanya.

“Kau kah tadi yang berteriak?”

Lelaki itu mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum. Ia mengulurkan tangannya.

“Mari ikut aku. Di sini, tidak ada yang melihatmu menari” ucapnya.

Dada Prima serasa tertusuk mendengar itu. Ia memandangi meja-meja yang terisi. Tak satupun dari antara mereka peduli bila saat ini Prima sudah tidak ada di panggung. Tanpa sanggup menahan, matanya memerah, ada perih di sudutnya.

Prima mengalihkan perhatian pada sesosok pria asing didepannya. Sesosok yang mengaku senang melihatnya menari. Satu sosok dengan wajah tampan menyenangkan. Bibirnya yang merah hampir selalu menyungging senyum. Tangannya masih terulur. Akhirnya Prima menyambut tangan itu.

Ketika tangan mereka bersentuhan, satu sensasi asing menjalari tubuhnya. Merayap dari rongga dada menuju rongga kepala, hingga tiap sendi tubuhnya.

Laki-laki itu menggandeng Prima, mengajaknya pergi. Langkah-langkah kakinya terasa ringan, seperti melayang. Berjalan menunduk, Prima melihat kakinya melayang tidak menyentuh tanah. Ia terkejut lalu melirik lelaki yang menggandengnya itu, mendapati tattoo sepasang sayap mungil di tengkuknya.

“Apakah kau ini…?” Prima bertanya, namun suaranya tercekat di kerongkongan. Tapi lelaki itu mengerti. Ia menganggukkan kepala.

“Kau ingin mengucap sepatah kata perpisahan dulu, kah?”

Prima menggeleng. “Baiklah”, ucap lelaki itu. “Di sana nanti, kau akan puas menari. Bahkan terlalu puas, hingga kau tak menginginkannya lagi” lanjutnya. Bibirnya masih tersenyum. Begitu pula Bibir Prima..

3 responses »

  1. Hidup ane katanya berantakan om ditambah rambut ane,, tapi kalo udah baca artikel kok berubah jadi rapi yaaa.. Hehehe.. 😛

  2. Yang Sepi ini sedang ditemai oleh secangkir Kopi dan Sebatang Rokok.. Namun Ditambah Baca Artikel.. Mancaaapppp.. 😛

Leave a reply to nadiaananda Cancel reply